Kamis, 30 Juni 2011

KBK : solusi alternatif , sebuah harapan

Telah banyak yang menyorot bahwa pendidikan di Indonesia berada dalam posisi yang carut marut; tanpa arah yang jelas; tanpa sistem yang berpihak pada kepentingan siswa sebagai objek pembelajaran, dan yang paling memprihatinkan adalah saratnya kepentingan yang mewarnai sistem pendidikan kita, sehingga berdampak terbawanya kualitas pendidikan di Indonesia pada pada satu titik yang sangat memprihatinkan, karena berdasar Human Development Index (HDI), Indonesia berada satu lapis di bawah Vietnam, yaitu ranking 102 dari 106 negara yang disurvai. Dan the Political Economic Risk Consultation (PERC) juga melaporkan hasil surveinya bahwa Inodesia berada di peringkat ke-12 dari 12 negara yang disurvei, juga satu peringkat di bawah Vietnam. Sedemikian parahkah system pendidikan di Indonesia?

Fakta rendahnya kualitas pendidikan kita bukan karena kurang tersedianya cerdik pandai di negara kita, melainkan karena keberadaan mereka terkotak pada kepentingan-kepentingan porto polio versi masing-masing tanpa ada yang mempertautkan kepakarannya pada suatu wadah nasional; --di samping tentu saja salah satu alasannya karena anggaran belanja negara di bidang pendidikan yang masih sangat menyulitkan bagi pelaku pendidikan untuk membelanjakannya.

Fakta-fakta di atas telah sangat sering diwacanakan dalam forum-forum ilmiah, oleh para pakar-pakar pendidikan yang loyalitas dan dedikasi serta kompetensi keilmuannya sudah tidak diragukan lagi, sehingga potret carut marutnya wajah pendidikan Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Bukan suatu hal yang harus diperdebatkan, melainkan karena berangkat dari fakta-fakta yang ada maka bagaimanapun keterpurukan kualitas pendidikan di Indonesia harus segera diatasi. Terlebih lagi kalau melihat ke depan, pada tahun 2003 akan mulai diberlakukan Asean Free Trade Area (AFTA) dan Asean Free Labour Area (AFLA), dimana membanjirnya tenaga ahli dari negara lain tidak akan bisa dibendung lagi. Akan seperti apa nasib dari kebanyakan tenaga kerja Indonesia, bila tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja asing?

Satu hal yang kasat mata tentang nilai kurang dari hasil pendidikan Indonesia pada konteks makro adalah masalah bahasa. Lemahnya kemampuan berbahasa asing bagi kebanyakan tenaga kerja Indonesia merupakan kekalahan dini dalam persaingan memperebutkan kursi formasi kerja, banyak yang gugur sebelum berperang beradu ketrampilan. Mengatasi satu kendala kemampuan berbahasa asing bagi tenaga kerja Indonesia, sebetulnya juga harus berangkat dari sistem pendidikan nasional-- yang dalam kurikulum-- target materi pembelajaran bahasa asingnya di sekolah hanya menekankan pada pengetahuan bahasa, bukan ketrampilan berbahasa. Sehingga dengan demikian untuk mengatasi kendala kelemahan berbahasa, langkah bersama dari Depdiknas dalam merancang penerapan kurikulum berbasis kompetensi dengan pihak pererbit buku pegangan siswa di sekolah sangat menentukan arah pembelajaran di sekolah, yang pada akhirnya melibatkan para guru sebagai agen transfer of knowledge. Sekalipun banyak lembaga bahasa asing yang diselenggarakan oleh masyarakat menawarkan jasa ketrampilan berbahasa asing, kesadaran masyarakat akan kemampuan berbahasa masih terlalu minim. Kalau kita mencoba untuk menganut paham minimalis, nampaknya kemampuan berbahasa asing belum sepenuhnya menjamin untuk bisa memenangkan persaingan global. Bahasa sebagai media untuk berkomunikasi adalah pelengkap dari kompetensi kecakapan hidup, semisal kemampuan di bidang medis, teknik informatika, teknik mesin, bangunan, pertambangan dan lain-lain.

Sebagai langkah nyata untuk mengantisipasi mulai diberlakukannya AFTA dan AFLA pada tahun 2003, maka sistem pendidikan Indonesia--yang lebih cenderung menitikberatkan pada tujuan ranah kognitif (pengetahuan), secara sistemik proporsional akan digeser pada pencapain bukan saja tujuan ranah kognitif tetapi juga tujuan ranah psikomotorik (ketrampilan) dan ranah afektif (sikap, batin). Kurikulum 94 dan suplemen nya yang selama ini dipakai sebagai "buku suci" pedoman pelaksanaan pendidikan Indonesia, terlalu sarat dengan muatan kognitif akademis-yang andaikata dipraktekkan dalam kehidupan nyata, pengetahuan yang didapatkan lewat bangku sekolah tersebut belum mampu terendap sebagai modal untuk hidup, sebab kurikulum tersebut kurang mampu memberikan ruang gerak bagi siswa untuk mengekplorasi potensi diri, dan para guru tidak memiliki kesempatan untuk menginventarisir potensi siswa dari aspek non kognitif. Semuanya berjalan secara mekanis dimana para guru yang bertindak sebagai subjek ajar dan siswa sebagai objek ajar terjebak pada mekanisme rutinitas yang formalistis.

Sebagai satu usaha untuk keluar dari deretan kelemahan atas kurikulum 94 dan suplemennya, Depdiknas telah mempersiapkan formula pendidikan yang lebih berorientasi pada pemberdayaan sekolah-sebagai subjek ajar-dengan program MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan titik fokus pada Life Skill Education (Pendidikan Kecakapan Hidup), sebagai langkah untuk mengembalikan prinsip dasar pendidikan yang berupaya "untuk memanusiakan manusia" agar para warga belajar -sebagai objek ajar-mampu mengembangkan potensi dasar untuk menghadapi kehidupan nyata dengan bekal kecakapan hidup.

KBK sebagai program baru dari Depdiknas, untuk diharuskan bisa dilaksanakan pada sekolah negeri mulai tahun ajaran 2003/2004 terasa sangat pendek. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya guru (dan atau sekolah) yang belum sepenuhnya paham akan arah dan esensi dari KBK. Memang pemerintah -dalam hal ini Depdiknas telah banyak melakukan sosialisasi tentang KBK, namun keterkagetan para guru belum sepenuhnya hilang atas program baru ini. Bahkan tidak jarang terdengar ungkapan sinis yang mengatakan "ganti mentri ganti kebijakan".

Bagaimanapun roda telah berputar, KBK harus berjalan. Bukan berarti tanpa alasan KBK ini dimunculkan. Depdiknas tentu saja telah secara cermat mengevaluasi kurikulum yang selama ini dijadikan pedoman pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Asumsi-asumsi dan premis yang dipakai Depdiknas untuk mengganti kurikulum 94 dengan KBK adalah fakta atas kualitas output pendidikan di Indonesia yang masih rendah, sementara perdagangan bebas tanpa batas -yang berimplikasi pada adanya kecenderungan kalahnya tenaga kerja Indonesia dalam bersaing dengan tenaga kerja asing -akan tak terelakkan.

KBK yang sudah masuk pada tahapan policy intstruktif dari Mendiknas ini, yang pada tahun ajaran 2003/2004 harus dilaksanakan di sekolah-sekolah negeri, dan pada tahun ajaran 2004/2005 akan menjadi sebuah Kepmen (Keputusan Mentri) untuk dilaksanakan di seluruh sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Majelis DIKTILITBANG telah menawarkan 8 (delapan) materi kompetensi dalam KBK yang meliputi; seni, olah raga, bahasa Asing, ketrampilan, teknologi informatika, lingkungan hidup, ilmu-ilmu dasar dan kepribadian (dan mungkin ditambah dengan materi Entrepreneurship}. Menanggapi hal ini maka setiap sekolah bisa memilih bidang kompetensi yang diterapkan sesuai dengan kesiapan infrastruktur sekolah masing-masing. Pada tahapan implimentatif, pelaksanaan KBK bisa merupakan keputusan akomodatif dengan mendasarkan alternatif kompetensi atas usulan sekolah, namun sangat besar kemungkinan keputusannya bersifat instruktif, dengan poin materi yang harus diberlakukan. KBK sebagai satu alternatif kurikulum "terbaik" yang harus segera diberlakukan maka sekolah dituntut selalu adaptif terhadap segala masukan yang menambah nilai pelaksanaan KBK. Masyarakat sebagai salah satu unsur stake holder sangat berharap bahwa KBK ini akan menjadi kebijakan yang memiliki daya dorong dan daya ungkit atas munculnya potensi-potensi manusiawi setiap diri siswa, yang akhirnya para siswa memiliki kompetensi berupa kecakapan hidup, hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sangat tidak diharapkan bahwa KBK ini hanya sekedar kebijakan populis, yang hanya mengulang kesalahan kurikulum sebelumnya.


(Drs. Zaenal Arifin, Kepala Bidang Pengajaran Primagama, dan Pengurus FP2 PG ; alumnus Sastra Inggris UNS.)